Pengertian
Hukum Perikatan
HUKUM PERIKATAN
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi. Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.
• Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
• Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
• Menurut Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang (pihak) atau lebih, yakni pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi. Hukum perikatan hanya berbicara mengenai harta kekayaan bukan berbicara mengenai manusia. Hukum kontrak bagian dari hukum perikatan. Harta kekayaan adalah objek kebendaan. Pihak dalam perikatan ada dua yaitu pihak yang berhak dan pihak yang berkewajiban.
• Menurut Hofmann, Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberpaa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian.
• Menurut Pitlo, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak yang lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
• Menurut Vollmar, Ditinjau dari isinya, ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap (kreditur), kalau perlu dengan bantuan hakim.
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan
KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
- Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
- Perikatan yang timbul undang-undang.
ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
- ASAS KONSENSUALISME
- ASAS PACTA SUNT SERVANDA
- ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Wanprestasi dan akibat-akibatnya
Suatu perjanjian, merupakan suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam,
yaitu :
- perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa, pinjam pakai.
- perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
- Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si berutang (debitur) tidak
melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”.
Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat macam :
- tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
- melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
- melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
- melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk
menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam
perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap
lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus
lebih dahulu ditagih. Apabila prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si
berutang perlu diberikan waktu yang pantas.
Sanksi yang dapat dikenakan atas
debitur yang lalai atau alpa ada empat macam, yaitu:
- membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
- pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
- peralihan resiko;
- membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga
unsur: biaya, rugi dan bunga.
- Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain.
- Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga merusak perabot rumah.
- Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua unsur, yaitu dommages
et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi seperti dimaksudkan di atas,
sedangkan interest adalah sama dengan bunga dalam arti kehilangan
keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi,
oleh undang-undang diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari
apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan
mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat
diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya
perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak
dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian
biaya, rugi dan bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si
berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam
pembayaran ganti rugi terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir.
Apabila prestasi itu berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang
diderita oleh kreditur kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest,
rente atau bunga.
Perkataan “moratoir” berasal
dari kata Latin “mora” yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga
moratoir berarti bunga yang harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu
alpa atau lalai membayar utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga
bunga tersebut baru dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak
dimasukkannya surat gugatan.
2. Pembatalan Perjanjian
Pembatalan perjanjian, bertujuan
membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya
perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik
uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya, perjanjian itu
ditiadakan.
Pembatalan perjanjian karena
kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai
perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat batal dianggap selamanya
dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal
demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu
dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam
perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk
memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka
waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan perjanjian itu harus
dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis walaupun debitur
nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak bersifat declaratoir
tetapi constitutif, secara aktif membatalkan perjanjian itu. Putusan
hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara penggugat dan
tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus mempunyai kekuasaan
discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian
debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin
menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian debitur itu terlalu
kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar
bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh
hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan jangka waktu kepada debitur
untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini terkenal dengan nama “terme
de grace”.
3. Peralihan Resiko
Sebagai sanksi ketiga atas kelalaian
seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237 KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko”
adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek
perjanjian.
Peralihan resiko dapat digambarkan
demikian :
Menurut pasal 1460 KUHPer, maka
resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun
barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan
barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tadi dari si
pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual, resiko itu beralih
kepada dia.
4. Membayar Biaya Perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya
perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul
dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan
membayar biaya perkara.
Menurut pasal 1267 KUHPer, pihak
kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk melakukan :
- pemenuhan perjanjian;
- pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
- ganti rugi saja;
- pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika
memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10
(sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan
yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
– Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
- Berpokok sejumlah barang yang
dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah
barang yang dapat diganti.
- Kedua-keduanya dapat ditetapkan
dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang.
Undang-undang tidak memberikan
definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah
perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih
piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu.
Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah
mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada
debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka
perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang
tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau
penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1)
pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para
penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang,
tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek
dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga
undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan
tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam
keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau
hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan
ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal
adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak
perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan
menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan
perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi
dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena
kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan
causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri
adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang
bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan
rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena
perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru
mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut.
Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A
seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan
rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B
belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat
mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan.
Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika
terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum,
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi
ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika
undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat
mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang
batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar