Ø Abstrak
Sistem pendidikan suatu Negara dapat memperngaruhi pendapatan perkapita
penduduknya dan mengurangi tingkat pengangguran yang sangat tinggi ini dengan
mengoptimalkan prestasi belajar peserta didik. Hal ini dapat diakui dunia
dengan melihat sudut pandang sistem pendidikan terbaik di dunia yang diraih
oleh Negara Finlandia. Perbincangan sistem pendidikan Finlandia yang menduduki
peringkat pertama di dunia masih hangat untuk dibahas dan dapat dijadikan
komparasi dengan sistem pendidikan Indonesia. Namun artikel ini hanya membahas
ruang lingkup kegagalan sistem pendidikan Indonesia yang perlu diperbahurui
sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran tiap tahun.
Setiap tahun, dunia pendidikan di Indonesia
menghasilkan
ulusan, mulai dari jenjang SD sampai
perguruan tinggi.
Tingginya jumlah lulusan yang
dihasilkan dunia pendidikan,
dapat menimbulkan peningkatan jumlah
pengangguran. Tercatat
jumlah pengangguran di Indonesia per
Februari 2011 lebih dari 8
juta orang (Pusdatinaker, 2011)
dengan tingkat pendidikan yang
berbeda-beda.
Pada masyarakat yang tengah
berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan
kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain,
tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat pengguna jasa pendidikan adalah
teraihnya lapangan kerja yang diharapkan. Kemudian latar belakang penulis
membuat laporan ini adalah untuk mengetahui masalah sistem pendidikan di
Indonesia yang berkaitan dengan
pengangguran. Dan berdasarkan latar
belakang tersebut, maka penulis mengambil judul :
“ KUALITAS YANG KURANG ATAU KUANTITAS YANG KURANG? “
Ø Pendahuluan
Tenaga kerja dan
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia memang selalu menjadi polemik yang
tidak pernah ada habisnya. Selain karena sumber daya manusia yang kurang
berkualitas, kurangnya jumlah lapangan pekerjaan padat karya yang mampu
menyerap tenaga kerja, sehingga mendorong tingginya tingkat pengangguran di
Indonesia.
Di Negara kita banyak
yang memiliki gelar sarjana namun tidak memiliki pekerjaan. Mulai dari sarjana
ekonomi, sarjana hukum, sarjana computer, dan masih banyak sarjana-sarjana yang
lainnya. Kebanyakan dari mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingginya
itu menjadi seorang pengangguran. Namun, banyak pula yang tetap berusaha untuk
mencari pekerjaan.
Ada tiga factor mendasar yang menjadi penyebab masih
tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.
Ketiga factor tersebut adalah ketidaksesuaian hasil yang
dicapai antara pendidikan dengan lapangan kerja, ketidakseimbangan permintaan
dan penawaran terhadap jasa manusia, dan yang terakhir kualitas sumber daya
manusia itu sendiri.
Dalam
Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Oleh karena itu Negara diharapkan bisa
membuat sumber daya manusia yang berkompetensi unggul karena tenaga kerja harus
disiapkan dengan baik.
Ø Landasan
Teori
Dari
grafik sekarang , terlihat bahwa pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan
dari SD dan SMA. Namun, jika dilihat dari persentase pengangguran, maka
pengangguran dari diploma I/II/III dan universitas cukup tinggi. dengan tingkat
pendidikan yang cukup tinggi pun (Universitas), ternyata masih banyak lulusan
yang menganggur. Padahal, dari tabel 1 dapat dilihat jumlah TKA yang bekerja di
Indonesia dengan level pendidikan yang setingkat dan gaji yang lebih besar
cukup tinggi. Permasalahan ketenagakerjaan Indonesia diperparah dengan kondisi
lapangan kerjayang pertumbuhannya cukup rendah di Indonesia. Pemberlakuan Asean
FreeTrade Agreement(AFTA) sejak tahun 2003menimbulkan bebasnya barang-barang
antarnegara di ASEAN dengan bea pajak yang rendah.
Hal
ini semakin buruk ketika China-Asean Free Trade Agreement(CAFTA) yang berlaku
sejak Januari 2010. Produk-produk dari China harganya lebih murah dan banyak
konsumen Indonesia memilih produk China. Ketika produk China ini semakin banyak
dibeli, pendapatan industri lokal yang memproduksi produk yang sama akan
menurun. Jika pendapatan terus menurun, maka akan banyak industri lokal yang
gulung tikar. Gulung tikarnya industri lokal akan menurunkan jumlah lapangan
kerja dan akan meningkatkan pengangguran terbuka.Selain itu, adanya globalisasi
juga memberikan pengaruh negatif kepada kondisi tenaga kerja Indonesia.
Pengaruh
globalisasi ini sangatlah besar, mulai dari pengaruh di bidang politik,
keamanan, ekonomi, sampai bidang sosial. Dalam penelitian ini, yang akan
dijadikan sorotan adalah pengaruh globalisasi di bidang sosial yang berhubungan
dengan dunia industri. Dimana pengaruhnya adalah banyaknya pekerja asing yang
berdatangan ke negara lain untuk mencari pekerjaan di negara tersebut.
Indonesia juga mengalami hal ini dan tercatatbanyak sekali tenaga kerja asing
(ekspatriat) yang bekerja di Indonesia.
Dari
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat bahwa jumlah Tenaga Kerja
Asing (TKA) di Indonesia per 31 Mei berjumlah 45.981 jiwa. Jumlah TKA tertinggi
menurut propinsi berada di Propinsi DKI Jakarta, sejumlah 28.663 jiwa .TKA
dengan jumlah tertinggi berasal dari RRC sejumlah 8.620 jiwa dan diikuti TKA
Jepang sejumlah 5.295 jiwa (Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2010).
Survey yang dilakukan Bank Indonesia terhadap TKA menunjukkan lbahwa banyak TKA
tersebut yang mendapat gaji dan fasilitas lebih baik daripada tenaga kerja
lokal (Yudanto, 2009).
Dari
hasil survey terhadap 365 orang TKA, didapatkan hasil bahwa persentase TKA yang
mendapat gaji lebih dari Rp. 25 juta sampai Rp. 50 juta dengan pendidikan
setingkat SMA adalah sebesar 20% dari responden lulusan SMA, tingkat pendidikan
setingkat S1 sebesar 15% dari responden lulusan S1, serta TKA dengan tingkat
pendidikan setingkat S2 dan S3 sebesar 20% dari responden lulusan S2 dan S3.
Dari sisi industri, terdapat permasalahan berupa pemenuhan kebutuhan tenaga
kerja. tenaga kerja atau karyawan merupakan hal vital bagi industri.
Jika
industri kekurangan tenaga kerja, maka dampaknya akan sangat besar.
Permasalahan yang biasanya terjadi adalah, kebutuhan tenaga kerja tidak
terpenuhi dalam. Seperti diketahui, biaya untuk merekrut tenaga kerja baru
cukup tinggi (Willette, 2010). Biaya dalam hal ini bisa juga diartikan dalam
kerugian yang akan dialami industri. Biaya tersebut, antara lain :
·Beban kerja. Ketika ada karyawan yang mengundurkan diri,
maka akan ada pekerjaan karyawan tersebut yang ditinggalkan dan harus ditangani
oleh karyawan yang lain. Karyawan yang mendapatkan pekerjaan tambahan pastinya
akan menuntut tambahan insentif. Insentif bisa berupa insentif lembur atau
insentif tambahan pekerjaan. Hal ini membut perusahaan harus meneluarkan 2 kali
gaji dan hal tersebut cukup merugikan.
·Tidak efisien waktu. Untuk melakukan seleksi karyawan baru,
dibutuhkan waktu yang cukup lama. Hal ini akan membuat tidak efisien terhadap
waktu. Waktu tersebut seharusnya bisa dialokasikan untuk sesuatu yang lebih
produktif.
·Biaya iklan lowongan. Untuk mengiklankan informasi lowongan
pekerjaan, dapat dilakukan melalui internet, pamflet, email, radio, televisi,
koran, atau media lainnya.Untuk melakukannya, membutuhkan biaya yang cukup
tinggi dan hal tersebut membuat perusahaan harus mengeluarkan biaya yang
tinggi.
·Hilangnya produktivitas. Jika ada karyawan yang mengundurkan
diri, meninggalkan pekerjaan yang belum terselesaikan. Hal ini dapat mengurangi
produktivitas kerja individu dan perusahaan.
·Biaya pewawancara pelamar. Untuk melakukan wawancara,
perusahaan harus membayar pewawancara. Biaya untuk membayar pewawancara tidak
murah. Jika perusahaan melakukan ini berkali-kali, maka biayanya akan semakin
tinggi.
·Biaya gaji dan pelatihan karyawan baru. Tidak semua karyawan
baru yang diterima perusahaan memiliki kompetensi sesuai kebutuhan perusahaan.
Karyawan yang tidak kompeten harus diberikan pelatihan ulang. Biaya untuk
pelatihan ulang sudah cukup tinggi, dan ditambah ketika pelatihan perusahaan
harus membayar mereka.
Isu
pelatihan ulang juga juga menjadi isu di dunia ketenagakerjaan Indonesia. Dari
pihak industri merasa tenaga kerja baru yang diterima banyak yang tidak
kompeten dan harus menjalani pelatihan ulang (retraining) (Abdurrahman, 2006).
Retrainingdalam hal ini adalah bentuk pelatihan yang dikhususkan untuk karyawan
yang baru direkrut, dan bertujuan untuk meningkatkan komptensi mereka, sehingga
dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Retraining
dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan, karena untuk melaksanakannya
perusahaan harus mengeuarkan biaya . Menurut BPS Jatim, selama tahun 2007
industri di Jawa Timur mengeluarkan biaya tenaga kerja sebesar Rp. 12,450
Triliun (BPS Jatim, Pengeluaran Industri di Jatim Tahun 2007, 2010). Angka ini
bisa saja bertambah jika lebih banyak retrainingyang dilakukan perusahaan.
selain itu, retrainingdapat menyebabkan penurunan produktivitas tenaga kerja.
Retrainingmau tidak mau harus dilaksanakan pada jam kerja. Jika waktu kerja
karyawan yang bersangkutan digunakan untuk retraining, maka produktivitasnya
akan berkurang.
Hal
ini dapat merugikan perusahaan. Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa
permasalahan tenaga kerja berasal dari 2 sisi, yakni sisi pasokan yang
menghasilkan lulusan sebagai pasokan tenaga kerja, serta sisi permintaan yang
membutuhkan tenaga kerja. Sisi pasokan diwakili oleh lembaga
pendidikan.Sedangkan sisi permintaan diwakili oleh dunia usaha dan dunia
industri. Untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan di Indonesia, tahap awal
yang harus dilakukan adalah mengetahui kinerja dari tiap sisi.
Performansi
tiap sisi diperlihatkan dalam bentuk yang terkuantifikasi. Kuantifikasi
memberikan beberapa kelebihan, antara lain dapat dibandingkan nilai menurut
waktu, dapat secara langsung dilihat nilai pencapaian tiap sisi, serta dapat
dibandingkan nilai performansi untuk variabel yang berbeda. Pengukuran
performansi sisi pasokan menggunakan toolyang dinamakan Alignment Indexatau AI
(Koirunnisa, 2010). Tujuan dari AI adalah menghitung jumlah lulusan lembaga
pendidikan yang terserap dunia kerja dan pekerjaan yang didapatkan sesuai
dengan kompetensi yang didapatkan dari sekolah atau kulliahnya. AI tidak bisa
menghitung demand atau kebutuhan tenaga kerja yang diminta oleh industri.
Karena,
yang dijadikan dasar perhitungan bagi AI adalah jumlah lulusan yang terserap
dunia kerja dibandingkan dengan jumlah lulusan. Pengukuran dari sisi permintaan
yang saat ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah dengan menggunakan
indeks tenaga kerja. Dasar perhitungan metode ini adalah membagi penduduk yang
bekerja dengan jumlah total angkatan kerja. Metode perhitungan ini dinilai
masih memiliki beberapa kekurangan. Pertama, tidak bisa memperlihatkan
kebutuhan dari sisi permintaan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa
dasar perhitungan dari indeks tenaga kerja adalah membagi penduduk yang bekerja
dengan total penduduk usia
Ø Pembahasan
Pengertian sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pendidikan, baik formal maupun non
formal memegang peranan penting dalam upaya pemberatasan buta dengan memajukan
taraf berpikir dan kebudayaan rakyat, dan negara bertanggungjawab dalam
menyelenggarakan pendidikan sebagai hak dasar bagi seluruh rakyatnya. Hal ini
telah tertuang jelas dan tegas dalam pasal 13 Konvenan Internasional tentang
Hak Sosial, Ekonomi, dan Budaya, demikian pula dalam pasal 31 Undang-Undang
Dasar 1945 dan pasal 49 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Menurut Dirjen Pendidikan Non Formal Dan Informal
Depdiknas, Hammid Muhammad, ada beberapa faktor penyebab tingginya buta aksara
di Indonesia, antara lain tingginya angka putus sekolah dasar, beratnya
geografis Indonesia, munculnya buta aksara baru, dan kembalinya seseorang
menjadi buta aksara. Jika kita mengacu pada soal-soal diatas, sebagian besar
penyebab tingginya angka buta aksara di Indonesia, adalah terkait dengan
persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi rakyat. Akan tetapi, pemerintah
mengklaim bahwa terkait dengan ketersedian akses pendidikan bagi rakyat, telah
dijawab pemerintah melalui berbagai program, seperti wajib belajar 9 tahun,
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, sampai
penganggaran 20% APBN dan APBD untuk pendidikan. Akan tetapi, mengapa angka
buta aksara di Indonesia masih saja tinggi?
Soalnya terletak pada masalah prespektif pemerintah yang
keliru dalam menyediakan akses pendidikan bagi seluruh rakyat. Terkait dengan
realisasi anggaran 20% APBN dan APBD, dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945 dan
pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), menyatakan bahwa besarnya dana pendidikan minimal 20%
dari APBN dan APBD, adalah diluar gaji pendidik dan pendidikan kedinasan.
Sementara itu, dari total APBN 2009 yang akan dialokasikan untuk pendidikan,
untuk Departemen Pendidikan Nasional Rp. 52,0 trilliun, Rp. 46,1 trilliun untuk
meningkatkan penghasilan guru dan peneliti, serta untuk Departemen Agama
sebesar Rp. 20,7 trilliun. Sehingga, berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat (4)
UUD 1945 dan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas, anggaran pendidikan untuk tahun
2009 sesungguhnya hanya mencapai 4,63% dari total rencana anggaran belanja
negara. Itu sebabnya mengapa sekalipun presentase anggaran pendidikan dalam
APBN 2009 telah mencapai 20%, belum dapat menjawab persoalan penyediaan akses
pendidikan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat.
Terkait dengan penyediaan akses pendidikan bagi seluruh
rakyat, ada 2 konsep, yang pertama adalah pemilahan kontribusi rakyat terhadap
negara, dan yang kedua adalah pemilahan terhadap penerimaan hak. Perbedaan
kedua konsep ini terletak pada prespektif tentang pendidikan sebagai hak
rakyat, apakah seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan atau tidak.
Pemilahan kontribusi rakyat terhadap negara didasarkan
pada kesanggupan rakyat dalam menjalankan kewajibannya terhadap negara. Konsep
ini yang sering diwacanakan sebagai “pajak progressif”. Artinya bahwa,
kewajiban rakyat yang mampu haruslah lebih besar dibandingkan dengan rakyat
yang tidak mampu. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu melakukan pemilahan
atas hak dasar rakyat, pendidikan menjadi hak dari seluruh rakyat tanpa
dibedakan kaya atau miskin.
Sementara pemilahan terhadap penerimaan hak didasarkan
pada status sosial seseorang secara ekonomi, terkait dengan masalah pendidikan,
pendidikan gratis hanya menjadi hak bagi rakyat yang miskin, sedangkan bagi
rakyat yang dinilai mampu (kaya), tetap dikenakan biaya pendidikan yang tinggi.
Konsep inilah yang digunakan oleh pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah Nusa
Tenggara Barat, dalam menyediakan akses pendidikan bagi rakyatnya. Penyediaan
akses pendidikan bagi rakyat miskin dijawab dengan subsidi silang atau dengan
bantuan berupa beasiswa.
Dengan demikian, secara umum, biaya pendidikan tetap
mengalami peningkatan. Masalahnya adalah berapa jumlah rakyat yang mampu dalam
menanggung biaya pendidikan bagi rakyat miskin, sementara jumlah rakyat miskin
terus saja bertambah, apalagi akibat krisis finansial yang sedang melanda dunia
internasional saat ini yang berdampak pada melambung tingginya harga-harga
kebutuhan pokok, PHK massal yang menambah jumlah pengangguran yang tentunya
semakin meningkatkan jumlah rakyat miskin.
Konsep yang dijalankan oleh pemerintah ini, kerap
melahirkan masalah yang justeru semakin mempersempit ketersediaan akses
pendidikan bagi seluruh rakyat. Salah satunya adalah pendataan jumlah
masyarakat miskin yang masih sangat jauh dari kenyataan, akibatnya banyak
rakyat miskin yang justeru tidak mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan.
Ini sama halnya ketika pemerintah menjalankan program BLT setelah menaikan
harga BBM, kenyataannya banyak rakyat yang seharusnya berhak, justeru tidak
mendapatkan dana BLT hanya karena persoalan pendataan. Selain itu, konsep ini
juga membuka ruang bagi terjadinya korupsi di dunia pendidikan yang terus
meningkat. Artinya, persoalan korupsi di dunia pendidikan, bukanlah persoalan
yang berdiri sendiri, melainkan sebagai akibat yang lahir dari sistem
pendidikan yang keliru.
UU BHP ; Upaya Pemerintah Untuk Melepaskan Tanggung Jawab
Terhadap Pendidikan.
Selain itu, pemerintah memang tidak pernah serius dalam
memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan. Justeru sebaliknya, pemerintah
terus saja berupaya melepaskan tanggungjawab terhadap sektor pendidikan melalui
berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkannya. Salah satunya adalah
dengan disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan.
Secara yuridis, ketentuan tentang BHP diatur dalam pasal
53 UU Sisdiknas. Akan tetapi, tentu bukan hanya ketentuan tersebut yang menjadi
latar belakang dilahirkannya UU BHP tersebut. Kelahiran UU BHP tidak terlepas
dari kepentingan negeri-negeri imperialis untuk mengkomersialkan pendidikan di
Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan yang memberikan
keuntungan yang sangat besar bagi imperialisme. Hal ini bisa dilihat dari
berbagai kesepakatan internasional antara pemerintah Indonesia dengan
lembaga-lemabaga dan negara-negara donor yang mempengaruhi kelahiran berbagai
kebijakan sektor pendidikan di Indonesia.
Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran
utang sebesar US$ 400 juta dari IMF (Dana Moneter Internasional), yang kemudian
melahirkan penandatangan kesepakatan Letter of Intent/LoI. Dalam kesepakatan
tersebut, pemerintah Indonesia diharuskan untuk melakukan pencabutan subsidi
publik, termasuk pendidikan dan kesehatan. Kesepakatan inilah yang kemudian
melandasi lahirnya PP 61 Tahun 1999 Tentang BHMN Perguruan Tinggi
(menjadikan perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara) yang kemudian
diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di Indonesia yaitu UI, ITB, IPB,
UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP.
Tahun 2001 Pemerintah Indonesia kembali meratifikasi
kesepakatan internasional, yakni Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa
(General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia
(World Trade Organization/WTO), di mana pendidikan dijadikan sebagai salah satu
dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian
bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan
tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah
Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang sebesar US$ 114,54 juta untuk
membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And
Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada Juni 2005 dan berakhir 2011. Program
ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi
perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah
rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu
banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya.
Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.
Orientasi Pendidikan Yang Tidak Mengabdi Kepada
Kepentingan Rakyat.
Selain persoalan ketersediaan akses pendidikan bagi
rakyat, soal kebudayaan--orientasi pendidikan yang tidak mengabdi pada
kepentingan rakyat, juga menjadi persoalan pokok masih tingginya angka buta
aksara di Indonesia.
Jika kita menganalisis dari prespektif hubungan produksi,
kepentingan negara-negara PBB dalam mengatasi masalah buta aksara di dunia,
tidak terlepas dari kepentingan negara-negara kapitalis monopoli atas
ketersediaan tenaga produktif bagi industri-industri yang didirikannya. Artinya
bahwa, jika negara-negara kapitalis monopoli menginginkan industrinya bisa
berjalan dan mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar, maka mereka harus
mempekerjakan buruh yang terdidik, bisa membaca dan menulis sehingga mampu
mengoperasikan mesin-mesin canggih dalam menggerakkan industri mereka.
Itu sebabnya mengapa dahulu ketika Belanda menjajah
Indonesia, setelah seratusan tahun Belanda menjajah, baru menjalankan “politik
etis” di Indonesia yang salah satunya adalah program edukasi/pendidikan. Hal
ini bukan karena keinginan Belanda untuk membalas budi orang Indonesia,
melainkan karena kebutuhan Belanda terhadap pekerja terdidik yang akan
menjalankan industri-industri yang didirikannya. Dari situlah kemudian rakyat
Indonesia diijinkan untuk bersekolah.
Berbeda dengan negara-negara kapitalis dan kapitalis
monopoli, akses pendidikan rakyat dan kualitas pendidikannya sangat
diperhatikan karena terkait dengan perkembangan industri yang sudah maju,
menggunakan teknologi yang canggih, sehingga membutuhkan pekerja dengan
kualitas yang maju pula, sekalipun penghisapan terhadap buruh masih saja
terjadi. Sementara Indonesia yang corak produksinya masih setengah kolonial dan
setengah feodal, dimana alat produksi pertanian yang sangat sederhana masih
mendominasi, pabrik-pabrik yang hanya berorientasi menghasilkan barang-barang
mentah dalam menyediakan kebutuhan bahan baku bagi industri negara-negara
kapitalis monopoli, dan penggunaan mesin-mesin canggih yang terbatas pada
industri perakitan, memposisikan pendidikan Indonesia sangatlah tidak
diperhatikan.
Dengan demikian, sistem pendidikan di Indonesia hanya di
orientasikan untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kapitalisme monopoli akan
ketersediaan buruh murah. Keuntungan industri milik negara-negara kapitalisme
monopoli yang ada di Indonesia, tidak didapatkan dari mengoperasikan
mesin-mesin canggih yang mampu meningkatkan kapasitas produksi, melainkan
dengan cara memperhebat penindasan terhadap buruh melalui penambahan jam kerja
dengan upah yang tetap saja minim, sehingga mampu terus meningkatkan kapasitas
produksi, sementara biaya produksi yang dikeluarkan bisa seminim mungkin.
Itu sebabnya, pemerintah semakin gencar mempropagandakan
tentang sekolah-sekolah kejuruan (SMK) untuk memenuhi kebutuhan tenga kerja
siap pakai bagi industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli. Sementara
capaian tertinggi dari SMK tersebut hanya sebatas mampu merakit, disatu sisi
melalui berbagai kebijakan Hak Kekayaan Intelektual (Hak Paten, Lisensi, Merek
Dagang, dan sebagainya), negeri-negeri kapitalisme monopoli tidak akan
membiarkan industri nasional berkembang dan mampu menghasilkan kebutuhan dalam
negeri sehingga mampu melepaskan ketergantungan terhadap komoditas dari
industri-industri milik negeri-negeri kapitalis monopoli, dalam memenuhi
kebutuhan dalam negeri.
Dengan demikian, kualitas sistem pendidikan kita hanya
diukur secara formal dengan ijazah, tetapi tidak mampu menjawab soal-soal
rakyat, termasuk membebaskan rakyat dari buta aksara. Bisa buktikan secara
sederhana, dari kita yang berkuliah, ternyata masih ada masyarakat di sekitar
lingkungan kita, keluarga, bahkan bapak dan ibu kita yang masih buta aksara.
Demikian halnya dengan kampus yang seharusnya menjadi lembaga yang ilmiah,
tidak pernah menunjukkan perannya dalam menjawab persoalan rakyat. Justeru
sebaliknya, kampus hadir sebagai corong propagandanya musuh-musuh rakyat,
tempat dilahirkan dan dikembangkannya teori-teori yang membela kepentingan
imperialisme, feodalisme, dan kapitalis birokrat.
Disinilah peran kita sebagai organisasi massa
pemuda-mahasiswa demokratik nasional, harus tampil mempropagandakan secara luas
tentang sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi kepada rakyat.
Kampus harus kita jadikan sebagai benteng pertahanan rakyat, tempat untuk
mengkaji dan memperdebatkan, serta mencarikan solusi atas persoalan-persoalan
rakyat.
Ø Kesimpulan
A. Kesimpulan
Pengangguran terjadi disebabkan
antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari
jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar
kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para
pencari kerja.
Setiap penganggur diupayakan
memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat
Indonesia.
Lebih tegas lagi jadikan
penanggulangan pengangguran menjadi komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua
kebijakan, yaitu kebijakan makro dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum)
yang berkaitan erat dengan pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi
seperti moneter berupa uang beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai
tukar yang melibatkan Bank Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen
Keuangan) dan lainnya.
Dalam keputusan rapat-rapat kebinet,
hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada penanggulangan
pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan pengangguran
harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
Selain itu, ada juga kebijakan mikro
(khusus). Kebijakan itu dapat dijabarkan dalam beberapa poin. Pertama,
pengembangan mindset dan wawasan penganggur, berangkat dari kesadaran bahwa
setiap manusia sesungguhnya memilki potensi dalam dirinya namun sering tidak
menyadari dan mengembangkan secara optimal.
Kedua, segera melakukan pengembangan
kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ketiga, segera
membangun lembaga sosial yang dapat menjamin kehidupan penganggur.
Keempat, segera menyederhanakan
perizinan karena dewasa ini terlalu banyak jenis perizinan yang menghambat
investasi baik Penanamaan Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan investasi masyarakat secara perorangan maupun berkelompok. Kelima,
mengaitkan secara erat (sinergi) masalah pengangguran dengan masalah di wilayah
perkotaan lainnya, seperti sampah, pengendalian banjir, dan lingkungan yang
tidak sehat. Kita. Diharapkan ke depannya di Negara
Indonesia kebijakan ketenagakerjaan dapat diubah (reorientasi) kembali
agar dapat berfungsi secara optimal untuk memerangi pengangguran.
B. SOLUSI MASALAH PENGANGGURAN
DI NEGARA INDONESIA
Masalah penganggur terbuka
(open unemployed) dan setengah penggangur
(underemployed) bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa
Indonesia dewasa ini dan ke depan. penganggur terbuka yang di
alami masyarakat Indonesia sekarang ini sudah mencapai sekitar dua kali dari
penduduk Malaysia. Penganggur itu berpotensi menimbulkan kerawanan berbagai
kriminal dan gejolak sosial, politik dan kemiskinan. Selain itu, pengangguran
juga merupakan pemborosan yang luar biasa. Setiap orang harus mengkonsumsi
beras, gula, minyak, pakaian, energi listrik, sepatu, jasa dan sebagainya
setiap hari, tapi mereka tidak mempunyai penghasilan. Bisa kita bayangkan
berapa ton beras dan kebutuhan lainnya harus disubsidi setiap harinya. Bekerja
berarti memiliki produksi. Seberapa pun produksi yang dihasilkan tetap lebih
baik dibandingkan jika tidak memiliki produksi sama sekali. Karena itu, apa pun
alasan dan bagaimanapun kondisi Indonesia saat ini masalah pengangguran harus
dapat diatasi dengan berbagai upaya.
Sering berbagai pihak menyatakan
persoalan pengangguran itu adalah persoalan muara. Berbicara mengenai
pengangguran banyak aspek dan teori disiplin ilmu terkait. Yang jelas
pengangguran hanya dapat ditanggulangi secara konsepsional, komprehensif,
integral baik terhadap persoalan hulu maupun muara. Sebagai solusi
pengangguran, berbagai strategi dan kebijakan dapat ditempuh sebagai berikut.
1. Setiap penganggur diupayakan
memiliki pekerjaan yang banyak bagi kemanusiaan artinya produktif dan
remuneratif sesuai Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 dengan partisipasi semua masyarakat
Indonesia. Lebih tegas lagi jadikan penanggulangan pengangguran menjadi
komitmen nasional. Untuk itu diperlukan dua kebijakan, yaitu kebijakan makro
dan mikro (khusus). Kebijakan makro (umum) yang berkaitan erat dengan
pengangguran, antara lain kebijakan makro ekonomi seperti moneter berupa uang
beredar, tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar yang melibatkan Bank
Indonesia (Bank Sentral), fiskal (Departemen Keuangan) dan lainnya. Dalam keputusan
rapat-rapat kebinet, hal-hal itu harus jelas keputusannya dengan fokus pada
penanggulangan pengangguran. Jadi setiap lembaga pemerintah yang terkait dengan
pengangguran harus ada komitmen dalam keputusannya dan pelaksanaannya.
2. Segera melakukan pengembangan
kawasan-kawasan, khususnya yang tertinggal dan terpencil sebagai prioritas
dengan membangun fasilitas transportasi dan komunikasi. Ini akan membuka
lapangan kerja bagi para penganggur di berbagai jenis maupun tingkatan. Harapan
akan berkembangnya potensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
baik potensi sumber daya alam, sumber daya manusia maupun keuangan (finansial).
3. Segera membangun lembaga sosial
yang dapat menjamin
kehidupan penganggur. Hal itu dapat
dilakukan serentak dengan pendirian Badan Jaminan Sosial Nasional dengan embrio
mengubah PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT Jamsostek) menjadi Badan
Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari berbagai devisi menurut
sasarannya. Dengan membangun lembaga itu, setiap penganggur di Indonesia
akan tercatat dengan baik dan mendapat perhatian khusus. Secara teknis dan
rinci, keberadaaan lembaga itu dapat disusun dengan baik.
Sistem
pendidikan nasional adalah suatu kesatuan yang kompleks dan terorganisir demi
mencapai tujuan nasional yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses pendidikan. Masyarakat Indonesia baru tersebut sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung tinggi hak asasi manusia, serta berpengertian dan berwawasan global. Visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung hak asasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.
Visi makro pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat madani sebagai bangsa dan masyarakat Indonesia baru dengan tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui proses pendidikan. Masyarakat Indonesia baru tersebut sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung tinggi hak asasi manusia, serta berpengertian dan berwawasan global. Visi mikro pendidikan nasional adalah terwujudnya individu manusia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan ahlak tinggi, kemerdekaan dan demokrasi, toleransi dan menjujung hak asasi manusia, saling pengertian dan berwawasan global.
Misi makro
pendidikan nasional jangka panjang adalah menuju masyarakat madani. Dalam
bidang pendidkan penyelengaraan organisasi pelaksanaan pendidikan yang otonom,
luas namun adatif dan fleksibel, bersifat terbuka dan berorientasi pada
keperluan dan kepentingan bangsa. Perimbangan wewenang dan pertisipasi
masyarakat telah berkembang secara alamiah. Pendidikan telah menyelenggarakan
kehidupan masyarakat yang berwawasan global, memiliki komitmen nasional dan
bertindak secara lokal kepada keunggulan, serta menjadikan lembaga pendidikan
sebagai pusat peradapan. Misi makro pendidikan nasional jangka menengah adalah
pemberdayaan organisasi maupun proses pendidikan. Organisasi pelaksana pendidikan
dengan cakupan yang luas dan otonom, sehingga mampu menampung kebutuhan
masyarakat dalam berbagai situasi. Proses pendidikan dilaksanakan secara
terbuka untuk memperbesar masukan dari masyarakat. Pelaksanaan pendidikan telah
dilaksanakan melalui jenjang kewenangan yang teah terbagi dengan partisipasi
masyarakat yang besar. Pendidikan diselengarakan dengan penanaman rasa
keunggulan untuk menghadapi tantangan global. Mengusahakan lembaga pendidikan
menjadi pusat peradapan.
C. Kritik dan saran
Demikianlah makalah ini kami buat,
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Ibarat ”tak ada gading yang tak
retak”, tentunya makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu, kritik dan
saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya.
Ø Daftar
Pustaka
bisa di ringkas lagi gk agar lebih pendek gitu
BalasHapus