Ø Abstrak
Harus diakui bahwa UKM merupakan potensi yang sangat dan
strategis dalam perekonomian
nasional. Karena selain memiliki jumlah
yang besar, UKM juga menyebar hingga ke pelosok pedesaan. Dari segi kuantitatif, jumlah pelaku usaha di
Indonesia pada tahun 2001 mencapai 40.197.611 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 99,86 persen
di antaranya adalah usaha kecil
(40.137.773), di mana 97,6 persen di antaranya adalah usaha mikro. Sedang jumlah usaha berskala menengah
sebanyak 57.743 atau 0,14 persen, dan
usaha besar hanya 0,005 persen atau berjumlah 2.095 saja (BPS 2001).
Kontribusi UKM juga amat jelas. Usaha kecil, dan menengah yang jumlahnya
dominan tersebut mampu meyediakan 99,04 persen lapangan kerja. Demikian halnya sumbangan terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) Non Migas, cukup meyakinkan yaitu sebesar
63,11%. UKM juga memberikan kontribusi
pada ekspor non migas sebesar 14,20% (BPS 2001). Hal ini berarti pada sektor-sektor dimana
terbuka bagi masyarakat luas UKM mempunyai sumbangan nyata. Sehingga kemampuan untuk melahirkan
percepatan pemulihan ekonomi akan ikut ditentukan oleh kemampuan menggerakkan
UKM.
Di sisi lain UKM jga menghadapi berbagai permasalahan yang
cukup krusial. Secara spesifik
setidaknya terdapat empat permasalahan eksternal, yang merupakan problem klasik
yang dihadapi UKM. Keempat permasalahan
internal tersebut adalah : (1) terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset
produksi, terutama permodalan; (2) rendahnya kemampuan SDM; (3)
ditinjau dari konsentrasi pekerjaan sumberdayanya, pengembangannya
terhambat oleh konsentrasi rakyat di pedesaan yang bergerak pada sektor
pertanian; (4) kelembagaan usaha belum berkembang secara
optimal dalam penyediaan fasilitas bagi kegiatan ekonomi rakyat.
Sementara kedelapan permasalahan eksternal yang dimaksud
adalah : (1) terbatasnya pengakuan dan jaminan keberadaan
UKM; (2)
kesulitan mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan
penyebaran UKM; (3) alokasi kredit
sebagai aspek pembiayaan masih sangat timpang, baik antar golongan, antar
wilayah, dan antar desa-kota; (4) sebagian besar produk industri kecil memiliki
ciri atau karakterisitik sebagai produk-produk fashion dan kerajinan
dengan lifetime yang pendek ;
(5) rendahnya nilai tukar komoditi
yang dihasilkan; (6) terbatasnya akses pasar; (7)
terdapatnya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak
proporsional; (8) munculnya ekonomi dengan berbagai
implikasinya.
Ø Pendahuluan
Beberapa problem lain yang juga tak kalah seriusnya, antara
lain, mekanisme perencanaan dari atas ke bawah yang tidak efektif untuk
mengatasi detail-detail problematika faktual yang dihadapi UKM; perumusan program yang tidak terkait dengan
pra kondisi dasar pemberdayaan ekonomi rakyat (yakni mentalitas enterpreneurship); masih adanya kelompok-kelompok kepentingan di
lingkaran kekuasaan; hingga jaring krupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang
masih kuat.
Sejak krisis moneter muncul, dan kemudian diikuti krisis
ekonomi lebih luas, dampak tidak menyenangkan dialami pula di sektor UKM. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut,
antara lain : (1) tingginya bunga kredit, sehingga suplai
kredit berkurang, berakibat pada kurang terbukanya sektor produksi : (2)
tingginya biaya impor bahan baku dan suku cadang, yang mengakibatkan
meningkatnya biaya produksi, sehingga keperluan modal kerja meningkat: (3)
tingginya biaya untuk permesinan, peralatan, dan suku cadang, yang
berkaitan dengan teknologi: (4) cash flow terganggu akibat lambatnya
pembayaran utang: (5) nilai tukar mata uang asing yang masih
volatile, meningkatkan resiko transaksi antarnegara.
Rintangan-rintangan di atas, bagaimanapun menghalangi
pembentukan kelas wirausaha yang bebas mendirikan perusahaan mereka
sendiri. Perusahaan kecil dan menengah
sering tampak sebagai usaha sia-sia dan nirlaba. Padahal, aktivitas wirausaha dibutuhkan untuk
membangun sebuah kekuatan ekonomi berbagai luas. Ada hubungan kuat antara eksistensi kelas
wirausaha yang kokoh dengan sebuah kondisi ekonomi yang beragam, dan keduanya
berpadu untuk untuk menciptakan ekonomi nasional yang lebih ulet, menghadaoi
perilaku pasar internasional, yang tidak selalu dapat dipastikan, dan
berkemampuan menyediakan kesempatan pekerjaan yang lebih besar dengan biaya
lebih murah.
Ø Landasan
Teori
PENGEMBANGAN PENDEKATAN PEMBERDAYAAN
UKM
Pemerintah di berbagai negara, pada umumnya mendukung
UKM. Hal tersebut dilakukan mengingat
kontribusinya yang signifikan atas lapangan kerja, inovasi dan
pertumbuhan. Dukungan pemerintah
tersebut bertujuan memajukan sektor UKM, agar bergairah dan tumbuh secara
dinamis. Namun demikian, biasanya
dukungan pemerintah terhadap UKM tersebut, tidak berjalan secara optimal.
Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan peran negara kurang
memuaskan dalam pemberdayaan UKM. Pertama,
relevansi pembinaan jasa berlandaskan pandangan sempit tentang kebutuhan UKM,
yaitu lebih banyak ditentukan dari sisi pemberian layanan (supply driven) dan bukan karena pengetahuan tentang apa yang
diperlukan UKM. Kedua, jangkauan
sasaran terbatas. Hal ini disebabkan
oleh ketergantungan pada subsidi dan ketentuan jenis bantuan pemerintah
terhadap UKM. Akibatnya jumlah
perusahaan yang menerima bantuan menjadi terbatas, terutama oleh jumlah dana
yang dianggarkan pemerintah dan sifat mekanisme pemberian bantuan, akibanya
fatal ketika bantuan dana dihentikan atau seringkali hanya berlaku untuk sekali
saja.
Berkaca dari berbagai hal di atas, kini tela dikembangkan
wacana praktek (best practice) dalam konteks pengembangan UKM yang dapat
diterapkan di berbagai negara.
Pengembangan UKM dibedakan ke dalam dua aspek finansial dan
non-finansial.
Meskipun Indonesia telah lama memiliki program pengembangan
usaha kecil/industri kecil namun dirasakan masih belum efektif dan
berkelanjutan (sustain). Untuk itu ada satu persyaratan penting yang
selama ini kita abaikan yaitu: Focused, Strategic dan Coelective Approach. Untuk memungkinkan pendekatan yang Cost effective dan Demand driven maka
hanya dapat dilakukan bila “Cluster
of Small Business” dapat beroperasi
dalam batas kawasan yang dekat antara satu dengan lainnya serta memiliki
keterkaitan yang kuat sebagai suatu sistem yang produktif. Cluster pada umumnya merupakan kecenderungan
spontan dari usaha sejenis untuk melakukan kegiatan yang saling mendekati. Meskipun terdapat berbagai macam klaster yang
dikembangkan seperti Pusat Inkubasi Teknologi, Technological Park, Lingkungan
Industri Kecil, Kawasan Berikat dan lain-lain maupun yang sifatnya embrional
seperti sentra industri yang menjadi fokus adalah membangun dinamika klaster
sehingga kegiatan UKM yang ada di dalamya dapat mencapai kemajuan.
Ø Pembahasan
Praktek Terbaik Dukungan
Non-Finansial
Praktek terbaik dukungan non finansial memperhatikan
tiga hal: menciptakan business
development services (BDS) atau jasa pengembangan usaha yang efektif; penggunaan teknologi secara tepat bagi
pengembangan UKM; fasilitasi akses
teknologi informasi dan telekomunikasi.
Pendekatan best practices pemenuhan pelayanan aspek
non-finansial, setidaknya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai
berikut: (1) orientasi demand-side dan penyesuaian
terhadap kebutuhan pengguna; (2) subsidiarity (siapa dapat bekerja
menghasilkan apa yang terbaik); (3) terfokus, dengan pendekatan kolektif dan
strategis; (4) orientasi pasar dan bisnis; (5)
pengembalian ongkos (cost recovery); (6)
berkesinambungan (finansial dan kelembagaan); dan (7) monitoring dan performance measurement.
Menciptakan Business Development
Services (BDS) atau Layanan Pengembangan Bisnis yang efektif
Istilah BDS dalam konteks pengembangan UKM pada aspek
non-finansial. Secara singkat, BDS kerap diartikan sebagai jasa
non-finansial yang bertujuan meningkatkan kinerja suatu perusahaan individual.
Secara khusus, Committee of Donor Agencies for Small
Enterprise Development
mendefinisikan BDS sebagai jasa non-finansial yang meningkatkan kinerja
perusahaan, aksesnya ke pasar, dan kemampuannya untuk bersaing, yang mencakup
beraneka ragam jasa usaha yang dirancang untuk melayani komunitas bisnis secara
luas.
Sementara, dalam suatu studi OECD tahun 1985 “Boosting Business Advisory Services”, BDS dirumuskan sebagai jasa non finansial
yang bertujuan meningkatkan berfungsinya UKM dalam beraneka ragam aktivitas dan
meningkatkan kinerjanya, melalui pemberian saran dan keahlian khusus eksternal
dalam jangka waktu singkat atau sementara, sebagai pelengkap sumberdaya
internal perusahaan bersangkutan.
Dari definisi-definisi di atas, setidaknya secara generik
BDS, diartikan sebagai jasa non-finansial yang bertujuan meningkatkan kinerja,
akses ke pasar dan kemampuan bersaing suatu perusahaan individual, yang
tersedia untuk jangka waktu singkat atau sementara. Lingkup aneka jasa yang dimaksud antara
lain: pelatiahan manajemen dan teknik
(jangka pendek); konsultasi masalah manajerial dan teknis; perbaikan dan
pemeliharaan; desain produk; sertifikasi produk dan proses; konsultasi jasa
teknologi informasi dan komputer; jasa informasi; jasa kurir; jasa riset pasar,
pialang perdagangan, jasa iklan dan hubungan masyarakat; jaringan pialang; jasa
akuntansi, sekretarial, perpajakan, dan hukum; konsultasi finansial dan
kepialangan; serta konsultasi dan pelatihan pembukaan usaha baru.
Suatu strategi realistik dengan kinerja tinggi dan ekonomis
untuk menciptakan jasa pengembangan usaha (BDS), setidaknya harus didasarkan
pada tiga tiang utama: Pertama,
harus diciptakan kondisi untuk menggairahkan pengembangan sektor swasta. Sektor swasta bagaimanapun memerankan peran
yang signifikan bagi pengembangan UKM, oleh karenanya pemerintah harus
mengkondisikan iklim usaha yang kondusif yang berdampak positif bagi pasar dan
bisnis. Kedua, pengembangan pasar
BDS yang semakin diprioritaskan. Artinya
pola penyediaan jasa BDS yang berdasar pada ketersediaan dan subsidi
pemerintah, harus digeser ke arah pola yang mengembangkan lingkungan pasar yang efektif, sehingga
memungkinkan penyediaan BDS. Ketiga,
upaya mengembangkan pasar BDS swasta seyogyanya dilengkapi dengan pengurangan
dan rasionalisasi keterlibatan sektor pemerintah.
Pengurangan peran konvensional pemerintah dalam penyediaan
jasa didorong dengan cara memperketat aturan pengembalian ongkos (cost
recovery) BDS agar program ini bisa berlanjut secara finansial, menggunakan
sektor swasta untuk menyalurkan BDS yang didanai pemerintah, dan melakukan
evaluasi lebih ketat terhadap dampak yang terkait dengan alokasi anggaran untuk
BDS. Rasionalisasi pengucuran dana
pemerintah untuk BDS dapat diikuti dengan swastanisasi program yang telah
sepenuhnya mencapai cost recovery.
Dalam konteks penyedia jasa BDS, setidaknya harus diperhatikan dua hal: selayaknya bersikap sebagaimana pelaku pasar
lainnya dan mengikuti permintaan pasar (market oriented); sebaiknya memfokuskan diri pada bidang yang
benar-benar dikuasainya. Bagaimanapun,
tampaknya, jasa bisnis menjadi semakin penting di semua negara. Di negara maju separuh dari angka pertumbuhan
GDP diperoleh dari jasa bisnis, sedangkan di negara berkembang sekitar
sepertiga, dan jasa bisnis merupakan bidang dengan pertumbuhan tertinggi di
negara industri. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa sesungguhnya keberadaan jasa bisnis (di tengah lingkungan
global dan lokal yang makin kompleks dan kompetitif) sebagai penambah nilai
pada komoditi, barang dan proses makin diakui, sehingga memungkinkan perusahaan
bersaing lebih efektif, dapat mengakses pasar baik yang ada maupun yang baru
dan beroperasi dengan lebih efisien.
Dalam rangka pengembangan BDS itu sendiri diperlukan
intervensi secara langsung, terutama dari pemerintah dan donor, sebagai upaya
menghadapi kendala institusional-fundamental dan guna mengembangkan pasar
secara efektif. Hal ini terkait dengan
hambatan khas UKM dan respon intervensinya secara tepat.
Pengalaman internasional dan best practice menuju ke suatu
fokus baru, yakni memfasilitasi pengembangan pasar dan bekerja dengan berbagai
macam mitra, daripada memberikan subsidi kepada penyediaan jasa. Dalam konteks pengembangan praktek terbaik,
perlu diperhatikan beberapa prinsip, yaitu:
(1) tujuan intervensi haruslah pengembangan pasar;
(2) intervensi pemerintah harus menjelaskan bagaimana
kesinambungan akan tercapai. Artinya,
misalnya, hal seperti kontrol, biaya pemabayaran jasa, dan pengukuran kinerja
dan evaluasi harus dipertimbangkan sejak awal dan bukan sesudahnya;
(3) diperlukan pelaku dan mekanisme berbeda untuk mendukung
pengembangan pasar. Dalam hal ini
terdapat dua pelaku dalam mendukung jasa bisnis: penyedia BDS dan fasilitator
BDS.
Penyedia BDS umumnya merupakan lembaga bisnis cari laba (for
profit businesses) yang menyediakan jasa usaha secara langsung ke klien dengan
suatu bayaran, atau digabung dengan suatu transaksi komersial lainnya. Sedangkan fasilitator BDS adalah lembaga
internasional atau lokal yang menetapkan tujuan utamanya untuk mempromosikan
pengembangan pasar lokal BDS. Cakupannya
antara lain, beraneka ragam bagi penyedia BDS (misalnya informasi pendidikan
mengenai potensi pembelian jasa BDS).
Fasilitator bisa merupakan organisasi cari untung atau tidak cari
untung, tetapi prinsipnya harus dekat dan memahami cara kerja pasar dan
perusahaan meskipun mereka sendiri bukan pelaku langsung dalam pasar. Fasilitator BDS haruslah berada di luar
pemerintah dan donor, meskipun harus bertanggung jawab kepada mereka, agar bisa
berinteraksi secara wajar dengan pelaku pasar.
Penyaluran dukungan pemerintah atau donor ke fasilitator
BDS, bukan ke lembaga penyedia BDS (apalagi langsung ke perusahaan UKM),
merupakan elemen kunci dalam pendekatan baru untuk mengembangkan pasar BDS yang
berfungsi dengan baik. Hal ini merupakan
suatu perkembangan yang baru terjadi sekitar pertengahan tahun 1990-an, namun sudah
terkumpul banyak dari pengalaman Amerika Latin, Afrika, dan Asia.
Indikator perkembangan pasar, merupakan salah satu hal untuk
mengukur kinerja intervensi, selain indikator pengkaijian dampak intervensi BDS
di tingkat perusahaan, dan indikator pengukuran kinerja pada tingkat penyedia
komersial BDS. Indiakator perkembangan
pasar, terkait dengan tiga dimensi pasar yang menjadi fokus khusus dalam proses
riset: ukuran, diversitas dan kemampuan bersaing, serta akses oleh kelompok
yang kurang mendapat BDS
Strategi
pengembangan BDS dalam konteks pengembangan UKM, sebagaimana diuraikan di atas,
sesungguhnya merupakan embrio atas konsep klaster bisnis. Konsep klaster bisnis, yang dimaksud dalam
hal ini, setidaknya merupakan pendekatan baru, yang membedakan dengan
kebijakan-kebijakan lama (konvensional).
Dengan demikian, sesungguhnya, klaster bisnis bisa berkembang, dengan
tidak harus melibatkan intervensi langsung pemerintah dan lembaga donor dalam
konteks pengembangan UKM yang memang sudah seharusnya berorintasi bisnis.
1. Teknologi untuk
Pengembangan UKM
Globalisasi
dan liberalisasi ekonomi dunia telah membuka kesempatan bagi
perusahaan-perusahaan di seantero dunia, terutama negara-negara sedang
berkembang, dengan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan tingkat kompetitifnya. Namun demikian, agaknya bagi UKM masih
terdapat kesulitan untuk mengakses, memanfaatkan, dan menguasai teknologi. Padahal dengan atau akuisisi teknologi (technology
acquisition) secara baik, akan didapatkan efektivitas dan efisiensi dalam
soal waktu, biaya, dan resiko, terutama dalam mengembangkan perusahaan UKM yang
profesional. Akuisisi teknologi
merentang dalam berbagai bentuk, mulai dari aspek pembelanjaan (purchases),
franchising, licensing, hingga aliansi strategis antara perusahaan dengan pihak
yang menguasai program-program teknologi dalam konteks transfer teknologi. Namun demikian, efektivitas transfer
teknologi, tidak saja bergantung pada aksesbilitas dan hal-hal yang terkait
dengan penguasaan teknologi semata, namun juga harus melihat kondisi permintaan
lokal (local demand condition) dan kemampuan untuk menentukan skala prioritas
teknis pembangunan dan kemampuan manajerial, yang mampu menyerap dan mengelola
implementasi penguasaan teknologi tersebut.
Penguasaan
teknologi, terkait dengan segala aspek yang menyertai pengembangan UKM, dari
mulai pengadaan bahan baku, pengolahan dan peningkatan mutu produk, distribusi,
dan kelayakan atas kondisi pasar yang ada.
Dengan demikian, diharapkan UKM akan semakin efektif dan efisien,
memenuhi kebutuhan skala lokal, bahkan jika memungkinkan juga kebutuhan dalam
skala internasional.
Rintangan
klasik dalam upaya penguasaan teknologi adalah kurangnya kapasitas lokal dan
keahlian untuk menyeleksi, memperoleh, mengadaptasi, dan mengasimilasi
teknologi, seiring dengan keterbatasan dan kekurangan sarana finansial,
sebagaimana pula dalam penguasaan informasi.
Tidak banyak UKM yang telah memiliki kapasitas jaringan dan monitoring
yang memungkinkan mereka untuk mampu mengakses informasi secara baik. Padahal, biasanya UKM bisa menentang
kehadiran resiko lebih parah, bila mereka mampu melakukan inovasi-inovasi yang
didasarkan pada teknologi baru.
Walaupun
memiliki keterbatasan, format baru yang dikembangkan dengan memakai teknologi
yang tepat, merupakan awal yang baik bagi tumbuhnya pendapatan yang akan
diperoleh perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Gambaran umum atas format baru yang dimaksud,
terkait dengan kemampuan untuk mengembangkan produk-produk baru, dengan
melibatkan teknologi dan proses-proses yang terkait dengannya, atau dengan
memproduksi dan memasarkan produk baru tersebut.
Dalam
konteks penguasaan bio-teknologi dan informasi pengembangan teknologi terbaru,
diperlukan kerjasama antara perusahaan-perusahaan UKM lokal dengan perusahaan-perusahaan
asing (foreign firms) yang berkembang dalam konteks hubungan
antar-negara Utara-Selatan (North-South) dan Selatan-Selatan (South-South). Kerjasama dan pengembangan jaringan antara
perusahaan dan lembaga riset dan teknologi antara Selatan dan Utara-Selatan
telah menjadi hal yang menggejala.
Contoh yang baik dalam konteks ini, misalnya tipe jaringan (network)
yang dikembangkan oleh Agricultural Research and Extension Network
(RDFN), dan Cassava Biotechnology Network (CBN).
Agaknya
sudah menjadi catatan umum bahwa transfer teknologi telah menjadi proses
penting, dan merupakan kunci bagi perusahaan UKM, dalam konteks penguatan dan
pengembangan inovasi, serta kapabilitas perusahaan dalam menumbuhkan industri
dan kompetisi internasional. Dengan
mempelajari teknologi, bagaimanapun, tidak akan menempatkan mereka dalam
isolasi atau ketertutupan dengan yang lain.
Lebih dari itu, perspektif inovasi teknologi membuat mereka mampu
berinteraksi dalam dan antar- perusahaan, dengan para supplier, para rekanan
(clients), serta struktur pendukung lokal (local support structures), seperti
lembaga litbang dan produktivitas, lembaga kredit, universitas, dan para
pembuat kebijakan (policy maker).
Peran
pemerintah dalam hal ini amatlah signifikan.
Pemerintah sebagai fasilitator, memungkinkan untuk menciptakan situasi
kondusif bagi pengembangan dan penguasaan teknologi, serta merangsang pelbagai
inovasi atas penguasaan teknologi tersebut, serta yang utama ialah menumbuhkan
semangat belajar untuk menguasai teknologi baru yang berkembang demikian
cepat. Kendalanya, selama ini berbagai
perusahaan dengan tingkat yang berbeda-beda mencoba mempelajari sendiri
penguasaan teknologi, sehingga hasilnya adalah kesulitan untuk menetapkan
strategi inovasi. Dalam konteks ini
unsur fleksibilitas memang penting, terutama dalam konteks kebijakan yang
dinamis. Dibutuhkan interaksi antara
penentu kebijakan dengan aktor UKM dalam mengembangkan proses pengembangan UKM
berbasis teknomogi yang terkati erat dengan investasi dan pemasaran.
Dalam
menata dan mengembangkan kapabilitas lokal untuk mentransfer teknologi dan
inovasi, dibutuhkan kolaborasi, jaringan, dan klaster-klaster. Hal ini memungkinkan perusahaan UKM untuk
memperhitungkan tingkat resiko dan biaya, dalam mengakses pasar, baik yang
terkait dengan perusahaan kecil, sedang (menengah), dan besar, juga dalam
konteks tukar-menukar informasi (sebagai contoh, dalam hal pengembangan
teknologi dan pemasaran produk-produk alami) serta hubungan komersial. Dengan demikian, sesungguhnya UKM amat
potensial untuk berpartisipasi atau terlibat dalam pasar internasional yang
demikian kompetitif.
Struktur
pendukung teknis dan komersial, semisal laboratorium litbang, pusat transfer
teknologi, fasilitas kontrol kualitas, dan agensi promosi ekspor, haruslah
dikembangkan secara seksama. Demikian
pula menyoal penciptaan desain dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi atas
jasa teknologi, kaitannya dengan pengembangan UKM. Dukungan atas struktur teknis dan komersial
di atas, memerlukan identifikasi atas kebutuhan, kesesuaian, adaptasi, dan
aspek follow-up-nya dalam konteks post-transfer teknologi. Dalam hal ini, masing-masing negara
berkesempatan untuk mengembangkan UKM dengan selalu memperhatikan perkembangan
teknologi yang ada, tentu saja bila tak mau ketinggalan dengan yang lain.
Fasilitas Akses Teknologi Informasi
dan Telekomunikasi
Teknologi
informasi dan telekomunikasi telah merambah ke semua sektor ekonomi, termasuk
di dalamnya komoditi primer, manufaktur, dan jasa. Pentingnya penguasaan teknologi informasi dan
telekomunikasi makin dirasakan manfaatnya, terutama dalam mengantisipasi
perkembangan dan kompetisi usaha yang makin dinamis. Teknologi informasi dan telekomunikasi
memberi kesempatan pada perusahaan untuk memperoleh informasi signifikan bagi
upaya mengembangkan usahanya, dan sebagai akibatnya bisa dicapai optimalisasi
efektivitas dan efisiensi usaha. Diakui
perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, memicu upaya-upaya
efektivitas dan efisiensi usaha, dan dengan demikian manfaatnya bagi
perusahaan, tak saja mereka tetap eksis dan bertahan, melainkan diharapkan
mampu melakukan inovasi dan langkah-langkah maju.
Beberpa
negara telah merambah industri teknologi informasi dan telekomunikasi, semisal
Cina, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Dan tampaknya pasar teknologi informasi dan
telekomunikasi masih amat lebar, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi
informasi yang ada. Yang kini tengah
menjadi fenomena adalah kehadiran internet, yang dirasakan sebagai sarana
revolusioner dalam memecahkan jarak dan waktu, dengan demikian efisien dan
murah. Walaupun fenomena internet telah
mewabah, di Indonesia kesadaran atas penguasaan teknologi informasi dan
telekomunikasi bagi pengembangan UKM masih perlu ditumbuhkan. Tidak hanya kesadaran saja tetapi juga
penguasaan dan pemanfaatan yang seoptimal mungkin, dalam konteks membangun
jaringan, mengakses pasar, dan memperoleh informasi dab hal-hal yang merangsang
inovasi.
Internet,
bagaimanapun, merupakan sarana bagi negara-negara sedang berkembang untuk untuk
bisa bekerjasama dan mengakses infrastuktur informasi global. Meskipun tingkat pertumbuhan pengguna atau
pemanfaat internet diperkirakan makin meningkat dan cukup tinggi, agaknya masih
saja yang optimal memanfaatkan masih terkonsentrasi di negara-negara industri
maju. Banyak data yang setidaknya
membuktikan bahwa sekitar 90 persen pengguna internet adalah dari kalangan
berpendidikan tinggi yang jumlahnya terbatas.
Dan, agaknya akses ke teknologi informasi dan telekomunikasi di
negara-negara berkembang atau negara-negara dalam transisi penguasaan
teknologi, masih diliputi keterbatasan-keterbatasan. Sebagai catatan misalnya, pada tahun 1998
pengguna internet di Paraguay, India, dan Filipina hanya 0,01 persen dari total
populasi; Taiwan, Korea Selatan, dan
Kuwait 2-2,5 persen; Perancis 6,5 persen; Jepang 9,6 persen; Australia 18
persen; dan Finlandia 35 persen.
Dengan
penguasaan dan pemanfaatan yang optimal akan teknologi informasi dan
telekomunikasi, UKM berkesempatan untuk memenangkan kompetisi ekonomi global,
terutama dari sudut penguasaan informasi.
Mereka terpacu untuk meningkatkan kualitas produk berdasarkan standar
internasional, serta membangun aliansi strategis dan hubungan kerjasama silang
(cross-border partnership) antar perusahaan di berbagai negara. Pemanfaatan internet secara optimal juga
mampu menekan biaya yang signifikan bagi UKM, terutama dalam mengiklankan
(advertises) dan mempromosikan produk0produk dan kontak antara buyers dan
suppliers dalam tingkat global.
Penguasaan
infrastruktur teknologi informasi dan
telekomunikasi tampaknya telah menjadi kebutuhan utama, dalam konteks
pengembangan UKM. Maka keahlian dalam
bidang penguasaan teknologi informasi dan telekomunikasi, amat mendesak untuk
dilakukan, bahkan telah menjadi keharusan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain: kemampuan untuk
mengakses infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi; kemampuan untuk
mengembangkan teknik-teknik e-commerce; kemampuan untuk menginformasikan
produk-produk yang dikembangkan dalam model-model bisnis yang ada; dan
sebagainya.
Penguasaan
teknologi informasi dan telekomunikasi amat bermanfaat bagi pengembangan
internal perusahaan, serta keperluan inter connections dengan pasar dan
suppliers. Penguasaan teknologi
informasi dan telekomunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas pada
kapabilitas teknis, tetapi juga, yang lebih penting lagi adalah, kaitannya
dengan efektifvitas perencanaan dan kemampuan organisasional. Pemerintah, sebagai pihak fasilitator, sudah
selayaknya membantu mengembangkan infrastruktur teknologi informasi dan
telekomunikasi, dan juga menciptakan berbagai aturan kebijakan yang konstruktif
dan merangsang inovasi serta berkepentingan untuk memasyarakatkan penguasaan
teknologi informasi dan telekomunikasi bagi pengembangan UKM.
Praktek Terbaik Dukungan Finansial
Di
atas telah dipaparkan aspek non-finansial dalam pendekatan praktek terbaik
pengembangan UKM. Kini saatnya menyimak pendekatan praktek terbaik pada aspek
finansial. Dalam konteks ini dibahas
tentang hambatan utama pembiayaan UKM; dan, eksistensi jasa finansial dan
keterbatasannya.
1.
Hambatan Utama Pembiayaan UKM
keterbatasan
pembiayaan bagi pengembangan UKM, merupakan persoalan klasik yang banyak
dijumpai di negara sedang berkembang.
Hal itu mempengaruhi tingkat produksi dan pertumbuhannya. Dana-dana publik yang disediakan negara untuk
pengembangan UKM disalurkan melalui lembaga-lembaga finansial khusus, seperti
misalnya bank pembangunan industri dan agrobisnis. Bank-bank komersial diharapkan mampu
mendorong partisipasinya di sektor ini melalui kuota peminjaman, subsidi,
pemasukan pajak, dan penjaminan terhadap kegagalan. Bank-bank pembangunan milik pemerintah di
negara-negara sedang berkembang telah menunjukkan sedikit banyak kesuksesannya
dalam memfasilitasi pengembangan UKM.
Banyak lembaga-lembaga pengembangan finansial telah memungkinkan
operasinya berorientasi profit untuk diterapkan pada UKM.
Banyak
ahli menilai bahwa kegagalan program pemberian kredit langsung, disebabkan
antara lain oleh keterbatasan pengaruh
mereka atas kekuatan pasar yang tergantung pada tingkat suku bunga, dan juga
kurangnya mobilisasi tabungan dalam desain program kredit mereka. Ditambah lagi, di negara-negara yang kurang
aktif dalam mengembangkan pasar kapital mereka, biasanya UKM amat kesulitan
mendapatkan dana yang diharapkan mampu menggerakkan usahanya. Maka, biasanya mereka pun menggunakan modal
amat terbatas yang dimilikinya untuk memulai dan menyambung usahanya. Sebagai contoh, sebanyak 59 hingga 98 persen
UKM-UKM di negara-negara Afrika menggunakan aset perorangan (personal asets)
mereka sebagai modal menggerakkan perusahaannya.
Belum
banyak contoh yang dapat dipakai untuk menunjukkan keberhasilan lembaga-lembaga
pengembangan finansial dalam upayanya melakukan kerjasama dengan UKM. Namun demikian bukan berarti gagal sama
sekali, sebab biasanya yang menyebabkan kegagalan itu adalah munculnya faktor
di luar kemampuan mereka, semisal el nino.
Biasanya bank komersial tak dapat memberikan tingkat suku bunga lebih
rendah pada UKM sebab ukuran pinjamannya yang kecil, biaya transaksi tinggi,
kurangnya aspek kolateral, dan miskinnya informasi data finansial yang baik,
membuat proses evaluasi bagi UKM banyak menelan biaya dan menemui banyak
kesulitan. Ditambah lagi pihak bank
tidak memiliki banyak tenaga ahli yang mampu menilai secara efisien terhadap
proposal proyek potensial yang diajukan para pelaku UKM yang mengajukan
kreditnya. Dua hal ini juga menciptakan
hambatan bagi bank komersial untuk meminjamkan kreditnya pada UKM: UKM rentan bangkrut (bankruptcy); dan amat tergantung pada seorang individu,
yang memposisikan dirinya sebagai enterpreneur.
Hal-hal di atas, setidaknya menggambarkan bahwa, bagaimanapun UKM
memiliki beberapa keterbatasan.
2. Eksistensi Jasa Finansial dan Keterbatasannya
berikut
ini akan dijelaskan secara singkat hal-hal yang berkaitan dengan jenis-jenis
jasa finansial serta beberapa hal yang melingkupinya, antara lain :
a. Sektor Jasa Finansial Formal
Sektor
jasa finansial formal, terutama bank-bank komersial, menunjukkan kesukaran
dalam menumbuhkan UKM dalam akses penguasaan modal (kapital) :
· Laba yang sedikit atau takada sama sekali, bila berurusan
dengan sector UKM
· Merupakan pasar yang tidak komplet (incomplete market)
untuk instrumen finansial, khususnya untuk hutang jangka panjang;
· Membutuhkan waktu lama, dari lamanya negosiasi dan prosesnya
hingga disetujui (approval);
· Respom yang lambat dalam mengubah kebutuhan hak-hak
lingkungan berubah;
· Produk-produk finansial yang berorientasi non pelanggan
(non-customized);
dan
· Jasa-jasa untuk kebutuhan individual UKM.
Halangan-halangan
itu makin membuat kondisi lebih buruk di negara-negara sedang berkembang yang
pasar modal finansialnya lemah, keahlian pengelolaan finansial yang terbatas
dan regulasi serta iklim politik yang tidak stabil.
b. Sektor Jasa
Finansial Informal
Pembiayaan
informal ternyata telah memainkan peran dan pengaruhnya yang luas dalam soal
financing bagi UKM di negara-negara sedang berkembang. Termasuk dalam hal ini antara lain modal dari
para pemberi hutang individual (individual moneylenders), tabungan
bersama (mutual savings), dan asosiasi pemberi pinjaman, dan
perusahaan-perusahaan mitra (partnership firms). Sektor jasa finansial informal dicirikan oleh
:
· Adanya fleksibilitas (keluwesan) dan kecepatan (speed0;
· Memerlukan biaya-biaya transaksi yang tinggi atau bersifat high
transaction costs.
· Tingkat bunga yang melebihi rata-rata;
· Pinjaman berskala kecil dalam jangka waktu pendek;
· Pengembalian hutang yang tinggi bagi peminjam yang
mengandalkan prosedur tertutup, ketelitian dalam memonitor para peminjam yang
mengandalkan kedekatan dengan para peminjam, dan adanya tekanan pada unsur
ketelitian.
c. Pemisahan atas
lembaga finansial dan bank-bank pembangunan
(development bank)
Banyak
negara yang telah mapan (established) memisahkan lembaga finansial mereka dalam
menyediakan kredit khusus bagi UKM dan bank pembangunan, dicirikan oleh :
· Kecilnya kemampuan menghasilkan laba (poo profitability);
· Biaya administrasi yang tinggi;
· Ekspansi horisontal atas jasa-jasa, termasuk asistensi
teknikal, pelatihan, dan sebagainya;
· Ekspansi jasa-jasa termasuk pinjaman-pinjaman dari
perusahaan besar;
· Ketergantungan pada subsidi pemerintah, pembubaran (dissolution)
atau likuidasi (liquidation).
d.
Skema penjaminan
Beberapa
lembaga finansial internasional dan pemerintah yang memiliki skema garansi
(penjaminan) yang mapan (established) telah mampu mendorong bank-bank komersial
meminjamkan dananya untuk pengembangan UKM.
Dengan premi 1 sampai 3 persen akan tergaransi hingga 80 persen. Pengalaman atas skema penjaminan bagi UKM,
menunjukkan masih banyak yang gagal dan sedikit yang sukses. Salah satu problem utamanya adalah persoalan
kesinambungan aktivitas yang dijalankan, yang memakan waktu lama, apalagi
setelah memperoleh dana dari pemerintah dan lembaga donor. Dalam banyak kasus UKM yang telah memperoleh
dana pinjaman untuk investasi, ternyata tidak bisa memanfaatkannya dengan baik,
dengan demikian hal ini menumbuhkan tingkat resiko yang tinggi bagi
penjaminnya. Oleh karena itu kekawatiran
akan terjadinya moral haaid, sehingga dalam pelaksanaannya perlu berhati-hatian
yang tinggi dan tidak menjadi informasi yang terbuka bebas.
e. Leasing
Leasing
finansial adalah sebuah persetujuan kontrak di mana UKM dapat memanfaatkan aset
yang ada dengan membayar sewa yang ditetapkan.
Biasanya karena perusahaan leasing yang memiliki aset, maka uang
sewa yang diberikan lebih dianggap sebagai biaya operasi ketimbang financing
charge. Perusahaan leasing biasanya
pula menekankan agar UKM mampu mengelola cash flownya. Biasanya mereka mencadangkan 10 persen untuk
biaya kemanan, dan akan berakhir setelah 3 hingga 5 tahun. Leasing, bagaimanapun merupakan salah
satu cara bagi UKM untuk memecahkan problema kebutuhan modal jangka
menengah. Biasanya UKM di negara-negara
sedang berkembang menggantungkan keuntungan mereka pada penggunaan (atas
manfaat) transfer teknologi yang ada, sehingga banyak membutuhkan kebutuhan
finansial jangka menengah.
f. Dana Modal Ventura
(Venture capital funds)
Dana
modal ventura adalah sebuah mekanisme investasi yang terdiri dari modal equity
dan asistensi manajerial untuk menumbuhkan perusahaan. Sebagai target perusahaan untuk mengembangkan
produk-produk dan jasa-jasa baru,
penyedia-penyedia modal ventura melakukan tugasnya dengan mengatasi
kendala-kendala biaya UKM.
PENDEKATAN BARU PENGEMBANGAN UKM DENGAN KLASTER BISNIS
Pengembangan
UKM di Indonesia, setidaknya bisa ditilik dari empat tataran kebijakan
pengembangan. Kebijakan pembanguan UKM
dapat dibedakan ke dalam emapt tataran, yaitu tataran meta, tataran makro, tataran
meso, dan tataran mikro.
Pada
tataran meta, kemauan politik para pendiri republik ini telah memberikan
dukungan landasan peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas kepada
koperasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya. MPR RI juga secara tegas selalu mencantumkan perlunya pemberdayaan UKM
pada setiap GBHN yang ditetapkan, dan selanjutnya diperkuat dengan adanya UU
nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan UU No. 9 tahun 1995 tentang
Usaha Kecil.
Kebijakan
pada tataran makro akan menentukan kondusif atau tidaknya sistem dan kondisi
perekonomian dengan pembangunan UKM.
Kebijakan pada tataran makro akan menentukan struktur dan tingkat
persaingan pasar yang dihadapi oleh pelaku usaha termasuk UKM. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) untuk
menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UKM, dalam arti UKM memiliki
kesempatan berusaha yang sama dan menanggung beban yang sama dibandingkan
pelaku usaha lainnya secara proporsional.
Menjadikan Sentra Kegiatan UKM sebagai TITIk Masuk
Pendekatan
pengembangan UKM dengan membuat fokus sasaran adalah sentra dimulai oleh Badan
Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM)
pada tahun anggaran 2001 yang lalu. Pada
dasarnya pendekatan ini adalah memberikan perkuatan untuk menjaga dinamika
sentra agar tumbuh menjadi Klaster Bisnis UKM melalui perkuatan tiga komponen,
yaitu : dukungan non finansial, advokasi, dan dukungan finansial sebagai
penggerak awal. Prinsip dasar pembinaan
UKM melalui strategi klaster bisnis dengan pengembangan dukungan non finansial
dan finansial antara lain :
a. Tujuannya
untuk meningkatkan fokus pembinaan agar lebih terarah.
b. Melakukan
proses transformasi pembinaan UKM agar menjadi sebuah industri jasa yang dapat dilakukan
oleh swasta secara profesional melalui pasar.
c. Dengan
menetapkan jangka waktu yang cukup akan terjadi proses pengguliran program
secara berkelanjutan, bukan sekedar pengguliran dana.
d. Hadirnya
dukungan non finansial akan mengawal proses dinamika klaster yang tidak terpaku
pada pengembangam jenis industri yang ada, sehingga eksistensi UKM di dalam
klaster dapat terus menanggapi setiap perubahan.
Kebijakan
makro bisa ditransfer ke dalam tataran mikro (skala usaha UKM) umumnya melalui
mekanisme dukungan perkuatan pada tataran meso.
Pada tataran meso, kebijakan dukungan perkuatan ini dapat dibedakan
menjadi dukungan keuangan (finansial) dan dukungan bukan keuangan (non
finansial). Proses transmisi dukungan
perkuatan pada tataran meso ke tataran mikro memerlukan alat berupa proses
inovasi dan pemberdayaan, agar sasaran pelaku yaitu UKM dapat antisipatif dan
responsif terhadap kebijakan pada tataran meta, makro, dan meso. Dengan demikian efektivitas pemberdayaan UKM
ditentukan oleh keselarasan dan sinergi kebijakan di tataran meta, makro,
mikro, dan meso.
Tantangan
pengembangan UKM di Indonesia, setidaknya terkait dengan keempat tataran
kebijakan di atas. Dan bagaimanapun,
pembenahan kembali atas pembangunan dan pengembangan UKM harus memperhatikan
aspek-aspek yang telah diwacanakan dan dikembangkan dalam best practice di
atas.
Prioritas
mendesak bagi pendekatan pemerintah Indonesia di dalam pengembangan UKM, antara
lain menciptakan kondisi kondusif bagi sektor swasta untuk bergerak dan berkembang. Maka, perlu dilakukan reformasi lingkungan
kewenangan formal di mana perusahaan beropersi, yakni kebijakan dan peraturan
yang tepat. Dalam konteks pengembangan UKM, tantangan utama bagi setiap
pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah Indonesia, adalah mendefinisikan
apa peran yang akan dimainkannya dalam mengembangkan pasar BDS secara efektif.
Dalam
rangka merumuskan lebih lanjut suatu pendekatan baru penyediaan BDS, terdapat
tiga implikasi penting untuk Indonesia. Pertama,
kejelasan strategi peran pemerintah dalam jasa pengembangan usaha. Hal ini dikaitkan dengan adanya perbedaan
sangat jelas antara peran sah pemerintah dalam memberikan proteksi dan
mengembangkan individu serta kelompok yang kurang beruntung di masyarakat
(tujuan kesejahteraan sosial), dan peran pemerintah dalam mengembangkan sektor
swasta. Kedua tujuan tersebut tidak
dapat dicampur-aduk. Tujuan pengembangan
bisnis biasanya jarang tercapai melalui mekanisme kesejahteraan sosial, dampak
proteksi dan subsidi seringkali tidak bermanfaat. Dalam konteks ini terdapat dua isu yang
relevan untuk dijawab : apakah perusahaan yang menjadi sasaran berada dalam
posisi bisa berkembang melalui BDS?
Apakah BDS memang benar merupakan solusi permasalahan?
Kedua, mempertimbangkan penyediaan BDS yang disubsidi. Tujuan subsidi perlu secara eksplisit
dipertimbangkan. Pertimbangan itu harus
menjelaskan apakah dukungan tersebut dimaksudkan menjadi perangsang perusahaan “sekali saja”, atau kalaumemang bukan
demikian, maka harus dijelaskan bagaimana jaminan akses berlanjut UKM ke jasa
BDS. Model pemberian subsidi melalui
“system voucher” yang dirintis oleh Swisscontact terbukti dapat berjalan,
walaupun keterpaduan dengan program lain masih perlu dikembangkan. Pertimbangan tersebut juga harus dapat
menjelaskan bagaimana dukungan bersubsidi itu dapat meningkatkan daya saing dan
memperbaiki lingkungan UKM yang kondusif, dan tidak memperpanjang proteksi.
Ketiga, adanya keterbatasan pemerintah dalam berperan sebagai
penyedia langsung BDS. Secara umum
pemerintah seyogyanya menghindari peran sebagai penyedia jasa BDS. Banyak pengalaman membuktikan bahwa peran
demikian tidaklah positif. Struktur,
budaya, dan kapasitas pemerintah tidak cocok untuk melakukan fungsi inti pasar
dan menyediakan jasa yang relevan serta tepat waktu untuk UKM. Terlebih pula, karena insentif, tujuan dan
struktur kepemilikan berbeda, pelibatan pemerintah menanggung resiko
menimbulkan distorsi, bukannya pengembangan pasar.
Kendala
terhadap fleksibilitas, kecekatan (responsiveness) dan inovasi juga
dapat menghambat pemerintah dalam memainkan peran fasilitator langsung di pasar
BDS. Fasilitator BDS harusnya merupakan
lembaga non-profit di luar pemerintah.
Ketika intervensi langsung dianggap tidak terhindarkan, sedapat mungkin
pemerintah mengikuti prinsip dan norma pasar, demi menghindari distorsi. Sebaiknya pemerintah juga meminimalkan salah
satu resiko intervensi, yakni kelembaman program (programme inertia),
yakni tatkala intervensi jangka pendek berubah menjadi kepentingan
birokratis. Maka, desain awal program
harus secara eksplisit mencantumkan strategi keluar (exit strategy) atau
mekanisme alih peran kepada sektor swasta.
Pendekatan partisipasi (partisipatory approach) lebih diperlukan. Dan dalam konteks ini, banyak diperankan oleh
BDS-BDS yang membina sentra-sentra bisnis dan mengembangkan klaster-klaster
yang andal.
Peran
pemerintah yang wajar, dalam pengembangan UKM adalah mendukung fungsi
peningkatan pasar. Hal ini tidak saja
terkait dengan transaksi tradisional yang melibatkan penjual dan pembeli, namun
juga terkait dengan serangkaian fungsi pelengkap pendukung perkembangan pasar
yang efektif, yaitu ketersediaan informasi, penelitian dan pengembangan,
tingkat koordinasi yang wajar, regulasi dan kendali mutu, perlindungan konsumen
dan sebagainya.
Dalam
konteks ini pula, seyogyanya pemerintah mampu melakukan pendekatan yang tepat
bagi pengembangan UKM dari aspek finansial.
Oleh karenanya, iklim kondusif perlu dikembangkan, baik dari sisi
penyedia modal maupun para pelaku UKM yang membutuhkannya. Bantuan yang diberikan pemerintah dan lembaga
donor, dalam konteks ini, hendaknya tidak dikembangkan dengan mengedepankan
paradigma karitatif, melainkan memandang UKM sebagai potensi yang perlu
dikembangkan dengan berorientasi kemandirian dan mampu bersaing di pasar
(orientasi pasar). Pemerintah, dengan
demikian bukan “sinterklas”, melainkan fasilitator dan regulator yang
diharapkan mampu berperan baik.
Beberapa
catatan di atas, setidaknya dapat dipetik pelajaran paling berharga bahwa
strategi pengembangan UKM di masa depan.
Khususnya untuk menghindari terjadinya semacam kebingungan bagi
masyarakat pelaku UKM, yang mengharapkan peran konkret dan konsisten dari
pemerintah. Inkonsistensinya penataan
kelembagaan, misalnya, dalam konteks pengembangan UKM, bagaimanapun merupakan
problem serius, yang sesungguhnya mencerminkan lemahnya keberpihakan pemerintah
dalam pengembangan UKM di tanah air.
Masyarakat
luas sebenarnya sangat paham bahwa strategi pengembangan UKM secara umum harus
berdasarkan pada dua pilar utama : (1)
tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat ; (2)
berfungsinya pengaturan kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi
yang efektif. Pemihakan terhadap
pengembangan UKM, selama ini lebih cenderung mementingkan hasil (ends)
daripada proses dan mekanisme (means) yang harus dilalui untuk mencapai
hasil akhir tersebut.
Pemberdayaan
SDM telah menjadi tema pokok yang tak bisa dipisahkan dari upaya mengatasi
berbagai problema yang dihadapi UKM. Hal
ini tidak saja terkait dengan bagaimana kualitas SDM yang ada mampu
memodernisasi usahanya lewat penguasaan teknologi ; tapi juga terletak pada
kemampuan manajerialnya. Maka, upaya
pendidikan dan pelatihan, kemampuan mengakses informasi dan teknologi dan
pemanfaatannya secara optimal, serta kemampuan manajerial para pelaku UKM,
masih amat diperlukan. Dalam kaitan
ini, bila SDM andal, maka diharapkan mereka mampu mengembangkan klaster-klaster
bisnis dengan baik dan kokoh.
Studi-studi
mengenai klaster-klaster UKM di Eropa Barat, setidaknya menunjukkan bahwa ada
sejumlah faktor, yang membuat mereka dapat berkembang dengan pesat, antara lain
: (1)
di dalam sentra terdapat juga pemasok bahan baku, alat-alat produksi,
mesin, dan komponen-komponen, subkontraktor, dan produsen barang-barang
jadi. Selain mengurangi ongkos produksi,
satu sama lain saling bersinergi, memperlancar keterkaitan bisnis antarmereka
; (2)
adanay suatu kombinasi antara persaingan yang ketat di satu pihak, dan
kerjasama yang baik di pihak lain, antar sesama pengusaha UKM. Dengan demikian terciptalah tingkat efisiensi
kolektif (collective efficiency) yang tinggi ; (3) di
dalam klaster-klaster terdapat pusat-pusat pelayanan, terutama yang disediakan
oleh pemerintah lokal, yang dapat digunakan secara kolektif oleh semua
pengusaha yang ada di sana ; (4) UKM yang ada di dalam klaster menjadi sangat
fleksibel dalam menghadapi perubahan-perubahan di pasar, di mana telah tercipta
network yang baik, serta inovasi-inovasi yang cerdas.
Kondisi Pengembangan Klaster di
Indonesia
Berdasarkan
catatan berbagai instansi yang berhasil dikumpulkan Tim Studi JICA (2002), pada
saat ini paling tidak terdapat 9.800 unit sentra UKM dengan tingkat
perkembangan derajat keterkaitan dalam klaster yang umumnya masih rendah. Jumlah unit UKM yang terpantau dalam sentra
sebagai embrio klaster tersebut diperkirakan mencapai sekitar 475.000. dilihat dari penyebarannya sekitar 58% sentra
yang ada berada di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Ditinjau
dari jenis kegiatan memang pada umumnya pengelompokan tersebut di sektor yang
berkaitan dengan industri yang ada 50% klaster UKM tersebut pada industri
pengolahan makanan dan minuman ISIC 31 dan tekstil ISIC 32. salah satu bukti belum berkembangnya klaster
dari tingkat teknologi yang tergolong rendah atau sederhana misalnya pada ISIC
31, ISIC 32 dan iSIC 34.
Dari
sisi tenaga kerja yang dipekerjakan, UKM pada klaster rata-rata mempunyai
tenaga 3 orang atau hampir sama dengan industri rumah tangga yang batasannya
memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang atau 4 orang pekerja atau
kurang. Pada sentra-sentra UKM sebesar 3
orang hanya sedikit di atas rata-rata industri rumah tangga secara nasional
termasuk di luar klaster sebesar 2 orang.
Namun masih jauh dari rata-rata penggunaan tenaga kerja pada industri
kecil sebesar 8 orang. Dengan demikian
kondisi penggunaan tenaga kerja pada klaster yang ada memang masih dalam tahap
yang sangat awal untuk bertahan dalam kegiatannya. Hal ini didukung oleh temuan bahwa sekitar
70% pengelompokan industri menurut penggunaan tenaga kerja berada pada tingkat
penggunaan teknologi yang rendah di tiga jenis industri pilar kegiatan UKM.
Akibat
langsung yang terlihat dair rendahnya tingkat teknologi dan struktur penggunaan
tenaga kerja, sebagaimana diperlihatkan dengan keragaman nilai tambah yang
diperoleh klaster UKM hanya mencapai Rp 1 milyar atau lebih rendah dibandingkan
industri rumah tangga sebesar 1,2 milyar.
Sementara industri kecil di luar klaster mencapai 2,9 milyar atau 2 kali
lebih besar. Rendahnya produktivitas
klaster ini juga terjadi di semua sektor ekonomi. Dengan demikian kondisi klaster yang ada pada
umunya dapat digolongkan ke dalam tiga tahap perkembangan sesuai deng
produktivitas tenaga kerja dan penggunaan teknologi yaitu teknologi rendah yang
memiliki produktivitas/tenaga sebesar Rp 970.000,-. Pada tingkat teknologi menengah sebesar Rp
2.055.000,- serta teknologi tinggi Rp
8.240.000,-.
PENGEMBANGAN SENTRA UKM TAHUN 2001
Pemberdayaan
UKM dilakukan dengan menetapkan sentra UKM sebagai titik masuk (entry
point). Pendekatan ini didasarkan pada
pemikiran untuk memberikan layanan kepada UKM secara lebih fokus, kolektif, dan
efisien, karena dengan sumberdaya yang terbatas mampu menjangkau kelompok UKM
lebih luas. Pendekatan ini juga mempunyai
efektivitas yang tinggi, karena jelas sasarannya dan unit usaha yang ada pada
sentra umumnya dicirikan dengan
kebutuhan dan permasalahan yang sama, baik dari sisi produksi, pemasaran,
teknologi dan lain-lain. Di samping itu,
sentra-sentra UKM akan menjadi titik pertumbuhan (growth point) di daerahnya,
sehingga mampu mendukung upaya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan
peningkatan nilai tambah.
Adapun
beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebagai persyaratan dasar sebuah
klaster, agar dapat berkembang secara sehat :
a.
Dalam setiap sentra yang akan
ditumbuhkan sebagai klaster harus memiliki satu usaha sejenis yang prospek
pasarnya jelas. Sekurang-kurangnya
terdapat 50 unit usaha kecil yang melakukan kegiatan sejenis.
b.
Omset dari kebutuhan unit usaha
dalam klaster paling sedikit Rp 500 juta/bulan.
Angka ini akan memungkinkan timbulnya pasar jasa pengembangan yang dapat
tumbuh secara sehat, industri pendukung yang terdorong masuk dan pengembangan
outlet yang layak. Dari segi finansial
dengan total transaksi semacam itu akan menjamin tumbuhnya jasa Perkreditan
koperasi yang layak.
c.
Telah terjadi sentuhan teknologi
yang memungkinkan tercapainya peningkatan produktivitas, karena masalah pokok
usaha kecil di bidang pertanian adalah produktivitas/tenaga kerja hanya kurang
dari 3% produktivitas usaha besar di sektor yang sama, atau hanya 1,5% dari
produktivitas usaha menengah. Sentuhan
teknologi harus menjadi elemen penting untuk melaksanakan perubahan bagi
peternak.
d.
Persyaratan lain yang berkaitan
dengan infrastruktur, jaringan pasar, ketersediaan lembaga keuangan dan
lain-lainmerupakan syarat tambahan yang menyediakan daya tarik klaster
bersangkutan melalui jaringan informasi.
Adapun
kriteria pemilihannya bisa didasarkan pada prospek pasar domestik atau pun
ekspor ; potensi kesempatan kerja yang dapat diciptakan, serta intensitas
penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya lokal.
Selanjutnya dilakukan cluster diagnosis, untuk memetakan kelebihan dan
kelemahannya, serta untuk merumuskan bentuk-bentuk bantuan yang tepat. Pengembangan klaster dalam konteks UKM
agaknya harus berorientasi bisnis (klaster bisnis), sehingga klaster tersebut
bisa mandiri, kokoh, dan mampu bersaing di pasar bebas. Strategi klaster bisnis, merupakan salah satu
solusi dan jawaban bagi pengembangan UKM secara terarah, terpadu dan
berkesinambungan.
Untuk
tercapainya tujuan pengembangan UKM, yaitu peningkatan efisiensi dan daya saing
yang berorientasi pada pemenuhan permintaan pasar (market driven), maka
sumberdaya yang dialokasikan pada sentra meliputi dukungan kebijakan untuk
menciptakan iklim yang kondusif, dukungan finansial dalam bentuk modal awal dan
padanan (MAP) dan dukungan non finansial berupa Layanan Pengembangan
Bisnis/Business Development Service (LPB/BDS) serta pendidikan dan
latihan. Dengan berbagai dukungan yang
diberikan, terutama LPB/BDS dan lembaga keuangan mikro (KSP/USP) yang terkait
dengan lembaga keuangan modern yang saling bersinergi dengan UKM di sentra, maka
diharapkan dapat langsung meningkatkan dinamika bisnis mereka. Terlebih lagi, secara kultural, UKM di sentra
tidak akan mengalami perubahan budaya, karena sentra usaha mereka tetap berada
di tempat semula.
Dalam
hal ini, tugas LPB/BDS adalah memberikan layanan pengembangan bisnis pada sentra
UKM terpilih, yang meliputi (1) layanan informasi, (2)
layanan konsultasi, (3) layanan pelatihan, (4)
melakukan bimbingan/pendampingan,
(5) menyelenggarakan kontak
bisnis, (6) fasilitasi dalam memperluas akses pasar, (7)
fasilitasi dalam memperoleh permodalan,
(8) fasilitasi dalam pengembangan
organisasi dan manajemen, (9) fasilitasi dalam pengembangan teknologi,
dan (10)
penyusunan proposal pengembangan bisnis.
Diharapkan
LPB/BDS dapat memberikan gagasan-gagasan yang feasible, sehingga pada
tataran strategis terjadi transformasi informasi, teknologi dan etos kerja pada
UKM melalui business clustering dan business arrangement, di mana
UKM yang masih tradisional dan scattered akan dikembangkan, sehingga
mampu untuk mengakses pasar dan lembaga keuangan. Dari berbagai kegiatan itu, yang
keseluruhannya dilakukan dalam kerangka bisnis, LPB/BDS tentu akan memperoleh
pendapatan langsung, khususnya dari kegiatan konsultasi, asistensi, pelatihan, business
clustering dan business arrangement. Di
samping itu, LPB/BDS masih berpeluang memperoleh pendapatan tidak langsung,
yaitu berasal dari peningkatan jumlah pembiayaan, sebagai akibat dari
meningkatnya jumlah calon customer dari UKM yang dilayani. Pada tahun 2001 telah ditangani kesepakatan
dengan 90 BDS untuk bekerja sama dalam pengembangan UKM pada sentra yang telah
ditunjuk. Di samping itu terjadi
keikutsertaan perusahaan swasta secara sukarela untuk mengembangkan usaha kecil
subkontraktor melalui pendekatan baru ini.
Perusahaan tersebut adalah PT. Suwastama di Surakarta yang mendirikan
lembaga pengembangan usaha kecil.
Dalam
rangka memperkuat permodalan UKM terutama di sentra UKM, maka pada tahun 2001
dilaksanakan Program Perkuatan Permodalan dan Lembaga Keuangannya bagi UKM
melalui Penyediaan Modal Awal dan Padanan (MAP) sebesar 39,6 milyar. Tujuannya adalah untuk menstimulasi
pengembangan permodalan UKM melalui koperasi serta menggalang partisipasi
berbagai pihak dalam pengembangan basis permodalan UKM. Program tersebut dilaksanakan melalui :
a. 100 Lembaga Keuangan Mikro di 30
propinsi dengan dana sebesar Rp 5 milyar atau Rp 50 juta / LKM.
b. 113 Koperasi Simpan Pinjam / Usaha
Simpan Pinjam Koperasi di 30 propinsi dengan dana sebesar Rp 22,6 milyar atau
Rp 200 juta/USP/KSP.
c. Pola penjaminan (co-penjaminan
bersama Perum Sarana Pengembangan Usaha) di 4 propinsi dengan dana Rp 5 milyar.
d. Lembaga Modal Ventura di 5 Propinsi
dengan dana sebesar Rp 5 milyar.
e. Inkubator
bisnis UKM di 3 propinsi dengan dana Rp 2 milyar.
Pada
tahun kedua dalam tahap pengembangan, paling tidak ada beberapa agenda yang
telah ditetapkan terhadap pengembangan sentra dimaksud. Pertama, melanjutkan proses pembuatan
perkuatan BDS dengan berbagai program bersama.
Akreditasi pada jaringan konsultasi internasional dan pengembangan
jaringan kerja sama antar BDS ; Kedua,
melanjutkan pemantapan layanan USP/KSP kepada UKM pada sentra dimaksud dan
menyatukan ke dalam kawasan sentra bagi yang belum terlaksana. Ketiga, menumbuhkan organisasi atau representasi
dari pelaku usaha kecil pada sentra tersebut.
Melihat
pengalaman dan catatan-catatan keberhasilan atas fenomena klaster-klaster UKM,
maka tidak ada salahnya dan telah menjadi sesuatu yang tepat bila, strategi
clustering bagi UKM diterapkan di Indonesia.
Apalagi dalam setahun dijalankannya konsep ini telah memperlihatkan
bukti-bukti dan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dengan menggabungkannya dengan strategi best
practices pengembangan UKM yang telah diakui keunggulannya secara internasional,
maka diharapkan dapat ditemukan strategi clustering yang tepat, rasional,
efektif, dan efisien. Tentu saja, penerapan strategi klaster bisnis, memerlukan
peran pemerintah, terutama dalam mendukung pihak-pihak yang menyediakan jasa
pelayanan pengembangan sentra-sentra UKM terpilih.
Disadari
bahwa perkembangan klaster sangat ditentukan oleh potensi pertumbuhan produksi
klaster. Untuk menilai potensi
pertumbuhan digunakan dua faktor utama yaitu faktor kesempatan bagi pertumbuhan
klaster yang dapat dilihat dari kondisi permintaan dan penawaran, pesaing dan
keterkaitan industri, sementara di sisi lain untuk tujuan pengembangan
kemampuan perencanaan dan tindakan untuk menyambut (action taking capacity)
yang menilai kesiapan klaster untuk memperoleh sentuhan dari luar.
Pentahapan
pengembangan klaster sesuai kesiapan dan kemajuan teknologi yang telah dicapai
menjadi penting. Secara konseptual
pentahapan melalui tahapan bertahan (survival), maju (advance) dan matang
(mature) sangat bermanfaat. Pentahapan
ini akan menverminkan perlakuan sesuai dengan karakter UKM serta orientasi
dalam tujuan pembangunan secara keseluruhan.
Ø Kesimpulan
Dengan pendekatan ini diharapkan ini diharapkan akan
terbentuk sebuah komunitas dalam pengembangan UKM, dalam bentuk asosiasi,
perhimpunan atau dalam bentuk organisasi yang lain. Karena sifatnya pembinaan maka lembaga ini
merupakan lembaga nonprofit yang terdiri dari para stakeholder UKM yang
melakukan.
Perlu diingat bahwa tiga pilar keberhasilan penopang
dinamika klaster adalah adanya dukungan non finansial, dukungan finansial untuk
penggerak (USP/KSP), dan adanya asosiasi atau lembaga yang menjadi
representatif/perwakilan mereka.
Kesemuanya itu akan bekerja dalam klaster, yang didukung oleh jaringan
sistem informasi yang menjadi instrumen penting, dalam penyelesaian
kegiatan-kegiatan yang ada.
Karena itu proses pengembangan UKM akan berjalan baik
apabila berlanjut menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan pasar. Hal ini dilakukan agar fungsi kelembagaan
pembinaan UKM di dalam klaster berfungsi secara lebih efisien dan efektif
dengan menjalankan prinsip saling menguntungkan. Adapun untuk pengembangan selanjutnya dapat
dilakukan dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.
Ø Daftar
Pustaka
Noer Soetrisno
KABAR BAIK!!!
BalasHapusNama saya Aris. Saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati karena ada penipuan di mana-mana. Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial, dan putus asa, saya telah penipuan oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 Juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dengan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan untuk dikirim langsung ke rekening saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah dia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda mematuhi perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan kehilangan Sety saya diperkenalkan dan diberitahu tentang Ibu Cynthia Dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua yang akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan.
Saya adalah Widya Okta dari SURABAYA, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara.
BalasHapusApakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.